Senin, 23 Juli 2012

Resiko jadi Incumbent



Oleh: Furkam Satriawan
(Jurusan Sastra Inggris UNM)

            Pesta demokrasi Kota Jakarta baru-baru ini membuat banyak pihak tercengang. Pasalnya hasil yang ditunjukkan oleh perhitungan cepat beberapa lembaga  menempatkan pasangan Incumbent Foke-Nara diurutan kedua, beda 10% dari rivalnya Jokowi-Ahok yang yang mendapat suara sekitar 43% suara. Padahal sebelumnya, seluruh lembaga survei memprediksikan pasangan Foke-Nara akan menang mudah, bahkan mampu mendulang suara lebih 50% sehingga Pemilukada Jakartai hanya 1 putaran saja.
            Pemilukada yang diikuti 6 pasangan calon ini memang menjadi perbincangan hangat sepekan ini. Masyarakat tertarik mempelajari apa sebenarnya yang menyebabkan kekalahan telak pasangan  Incumbent Fauzi Bowo dan rahasia apa dibalik kesuksesan Walikota Solo sehingga mampu mendapatkan suara terbanyak pada Pemilukada Jakarta Putaran I ini. Banyak yang beranggapan bahwa ketidakpuasan penduduk Jakarta lah faktor utama kekalahan Fauzi Bowo.
            Masalah kompleks di Ibu kota seperti Macet, Banjir, dan Kemiskinan boleh jadi adalah beberapa indikator ketidak berhasilan Fauzi Bowo dalam memimpin Jakarta. Lebih 60% warga miskin kota Jakarta mungkin merasa pemerintahan Fauzi Bowo kurang berhasil membawa perubahan bagi kehidupan mereka.  Sedangkan Pak Jokowi tiba-tiba hadir dengan gaya yang sederhana dan merakyat menghipnotis warga Jakarta untuk memberikan hak suara mereka ke Wali Kota Solo ini. Gaya kampanya yang unik serta menawarkan solusi yang  jelas seperti kartu sehat untuk berobat gratis mungkin beberapa kiat sukses sehingga mampu memenangkan putana pertama pemilukada Jakarta ini.
            Inilah susahnya jadi Incumbent .  Untuk bisa memimpin di periode kedua, program-program selama pemerintahan periode pertama harus memuaskan banyak kalangan, baik itu kalangan, atas, menengah, dan terpenting  adalah kalangan bawah yang mayoritas. Sedikit saja kesalahan yang dilakukan di periode pertama, maka itu akan menjadi boomerang di pemilihan periode kedua. Bahkan, kesalahan dan kekurangan selama periode kedua akan menjadi senjata ampuh bagi lawan politik si Incumbent.
            Merefleksi hasil perhitungan cepat Pemilukada Jakarta, mungkinkah skenario yang sama akan terjadi pada pemilukada Sulawesi Selatan awal tahun depan? Dimana bisa jadi pasangan incumbent Syahrul Yasin Limpo akan bertekut lutut terhadap lawan politiknya. Atau mungkin sebaliknya, pasangan SAYANG episode II justru mementahkan pernyataan Hidayat Nurwahid yang menyatakan bahwa saatnya Incumbent untuk kalah. Yang jelas kerja keras telah ditunjukkan pasangan Incumbent Sulawesi-selatan pada 5 tahun terakhir ini. Sekarang tinggal masyarakat Sulawesi Selatan yang menentukan siapa yang paling layak menjadi Gubernur di periode mendatang. Apakah  pasangan incumbent masih mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin Sulawesi Selatan atau tidak, kita tunggu di pesta demokrasi Sulawesi Selatan tahun depan.

           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar