Oleh: Furkam Satriawan
(Jurusan Sastra Inggris
UNM)
Pesta demokrasi Kota Jakarta baru-baru ini membuat banyak
pihak tercengang. Pasalnya hasil yang ditunjukkan oleh perhitungan cepat
beberapa lembaga menempatkan pasangan Incumbent Foke-Nara diurutan kedua, beda
10% dari rivalnya Jokowi-Ahok yang yang mendapat suara sekitar 43% suara.
Padahal sebelumnya, seluruh lembaga survei memprediksikan pasangan Foke-Nara
akan menang mudah, bahkan mampu mendulang suara lebih 50% sehingga Pemilukada
Jakartai hanya 1 putaran saja.
Pemilukada
yang diikuti 6 pasangan calon ini memang menjadi perbincangan hangat sepekan
ini. Masyarakat tertarik mempelajari apa sebenarnya yang menyebabkan kekalahan
telak pasangan Incumbent Fauzi Bowo dan rahasia apa dibalik kesuksesan Walikota
Solo sehingga mampu mendapatkan suara terbanyak pada Pemilukada Jakarta Putaran
I ini. Banyak yang beranggapan bahwa ketidakpuasan penduduk Jakarta lah faktor
utama kekalahan Fauzi Bowo.
Masalah
kompleks di Ibu kota seperti Macet, Banjir, dan Kemiskinan boleh jadi adalah
beberapa indikator ketidak berhasilan Fauzi Bowo dalam memimpin Jakarta. Lebih
60% warga miskin kota Jakarta mungkin merasa pemerintahan Fauzi Bowo kurang
berhasil membawa perubahan bagi kehidupan mereka. Sedangkan Pak Jokowi tiba-tiba hadir dengan
gaya yang sederhana dan merakyat menghipnotis warga Jakarta untuk memberikan
hak suara mereka ke Wali Kota Solo ini. Gaya kampanya yang unik serta
menawarkan solusi yang jelas seperti
kartu sehat untuk berobat gratis mungkin beberapa kiat sukses sehingga mampu
memenangkan putana pertama pemilukada Jakarta ini.
Inilah
susahnya jadi Incumbent . Untuk bisa memimpin di periode kedua,
program-program selama pemerintahan periode pertama harus memuaskan banyak
kalangan, baik itu kalangan, atas, menengah, dan terpenting adalah kalangan bawah yang mayoritas. Sedikit
saja kesalahan yang dilakukan di periode pertama, maka itu akan menjadi
boomerang di pemilihan periode kedua. Bahkan, kesalahan dan kekurangan selama
periode kedua akan menjadi senjata ampuh bagi lawan politik si Incumbent.
Merefleksi
hasil perhitungan cepat Pemilukada Jakarta, mungkinkah skenario yang sama akan
terjadi pada pemilukada Sulawesi Selatan awal tahun depan? Dimana bisa jadi
pasangan incumbent Syahrul Yasin
Limpo akan bertekut lutut terhadap lawan politiknya. Atau mungkin sebaliknya,
pasangan SAYANG episode II justru mementahkan pernyataan Hidayat Nurwahid yang
menyatakan bahwa saatnya Incumbent
untuk kalah. Yang jelas kerja keras telah ditunjukkan pasangan Incumbent Sulawesi-selatan pada 5 tahun
terakhir ini. Sekarang tinggal masyarakat Sulawesi Selatan yang menentukan
siapa yang paling layak menjadi Gubernur di periode mendatang. Apakah pasangan incumbent
masih mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin Sulawesi Selatan atau
tidak, kita tunggu di pesta demokrasi Sulawesi Selatan tahun depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar